Jumat, 26 November 2010

Guru Berkarakter Kunci Pendidikan Karakter

Munculnya gagasan pendidikan karakter dalam dunia pendidikan di Indonesia, diawali dari proses pendidikan yang ternyata belum berhasil membangun manusia Indonesia seperti yang diinginkan oleh UUD No.20 tahun 2003. Pembentukan karakter yang seharusnya menjadi jiwa dari pendidikan itu sendiri belum tercapai. Hal itu terjadi karena pendidikan hanya dititikberatkan pada konsep-konsep pelajaran. Menekankan pada kemampuan intelektual semata.

Proses pendidikan di negeri kita lebih dititikberatkan pada hasil daripada proses. Keberhasilan siswa dimanifestasikan dalam bentuk jejeran angka dalam buku laporan. Tinggi rendahnya angka seperti itu tidak mencerminkan karakteristik siswa yang sebenarnya di lapangan. Meskipun dalam buku laporan tersebut dicantumkan target ketercapaian siswa, pun itu hanya bersifat legal formal saja. Guru, orang tua dan siswa terjebak dalam pola pikir bahwa keberhasilan belajar mengajar dicerminkan dengan besar kecilnya angka. Proses pendidikan yang seperti inilah mungkin yang mengakibatkan munculnya berbagai perilaku negatif siswa.

Hampir setiap hari oleh media masa, kita disuguhi berbagai informasi tentang sikap dan perilaku negatif para remaja, yang notabene anak sekolahan. Informasi tersebut menayangkan berbagai tindakan tidak terpuji yang mereka lakukan seperti: tawuran, merokok, seks bebas, melakukan kekerasan, plagiasi (copas), ketidakpedulian terhadap lingkungan, berbicara vulgar, menggunakan narkoba dan lain sebagainya, menjadi konsumsi informasi kita setiap hari.

Bahkan akhir-akhir ini yang membuat miris, munculnya geng motor yang tumbuh dengan suburnya dibeberapa kota besar di Jawa Barat terutama di Bandung. Eksistensi geng motor ini bahkan meluas ke Cirebon, Tasikmalaya, Garut. Perilaku mereka sangat jauh dari nilai-nilai keberadaban. Tidak segan mereka melakukan kekerasan seperti melukai, bahkan membunuh korbannya tanpa alasan.

Semestinya, kita; guru; orang tua dan masyarakat melakukan introspeksi yang langsung atau tidak langsung, atas terbentuknya perilaku negatif itu. Pendidikan semestinya tidak hanya dibebankan di atas pundak guru, tetapi semestinya menjadi tanggung jawab orang tua dan masyarakat. Orang tua dan masyarakat semestinya bersinergi dengan guru untuk melakukan pendidikan secara bersama-sama. Sehingga guru tidak lagi menjadi kambing hitam perilaku negatif para siswa.

Munculnya anggapan bahwa proses belajar mengajar yang dilakukan oleh guru saat ini, tidak menyentuh sisi kemanusiaan siswa. Proses belajar mengajar hanya mengejar target kurikulum, tidak ada "touch”-nya terhadap esensi moralitas siswa didiknya. Banyak oknum guru melaksanakan tugas terkesan hanya seadanya. Masuk kelas, melakukan presensi, memberikan tugas atau mencatat. Selanjutnya, serahkan pada tas atau jaket.

Banyak oknum guru yang juga tidak mencerminkan etika dan budi pekerti seorang guru. Keberanian untuk menolak dan tidak melakukan pebuatan yang tidak sesuai dengan hati nurani, seringkali terkalahkan oleh rasa takut yang tidak beralasan. Misalnya pada saat Ujian Akhir Nasionan, banyak guru yang seharusnya menjadi suri tauladan atas kejujuran, justru melakukan kecurangan dengan memberikan kunci jawaban. Contoh lainnya, di sekolah-sekolah, tertempel spanduk atau poster: “Anda memasuki kawasan areal bebas narkoba dan asap rokok” Ironisnya justru guru bahkan kepala sekolahnya merokok di bawah spanduk itu! Guru memberikan hukuman yang tidak mendidik, melempar dengan penghapus, menampar, bahkan menyidang siswa perokok sambil merokok. Masih banyak yang lebih suka mengajar dengan pola lama, dengan berbagai alasan logis menurut mereka.

Sebagai guru suka atau tidak, perilaku dan karakteristik guru dan siswa yang kurang baik seperti uraian di atas, memunculkan pendapat yang kurang sedap terhadap profesi guru.

Guru Berkarakter

Undang-Undang Nomor : 20 Tahun 2003, Bab II Pasal 3 menyatakan: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

Tersirat dan tersurat pada pasal UU Sisdiknas tersebut bahwa pendidikan harus bisa mengembangkan potensi anak didik yang berahlak mulia. Anak didik harus memiliki karakter. Karakter yang baik diperoleh dari pendidikan yang baik pula. Pendidikan yang baik selayaknya berorientasi pada aspek; kognitif (kemampuan intelektual: pengetahuan, pengertian, keterampilan berfikir), aspek afektif (aspek perasaan dan emosi: minat, sikap, apresiasi, cara penyesuaian diri), dan psikomotor (aspek keterampilan motorik). Dengan pendidikan yang mengintegrasikan ketiga aspek tersebut, siswa diharapkan dapat memiliki karakter seperti yang diungkapkan oleh Thomas Lickona : ketulusan hati atau kejujuran (honesty); belas kasih (compassion); kegagahberanian (courage); kasih sayang (kindness); kontrol diri (self-control); kerja sama (cooperation); kerja keras (deligence or hard work).

Pencapaian ketujuh pilar pendidikan karakter di atas baru bisa tercapai bila guru menyadari sikap dan perilakunya agar berkarakter. Kesuriteladanan guru patut dicontoh oleh para muridnya. Kemampuan guru tidak hanya sebagai pengajar, tetapi juga sebagai panutan, figur, pengayom dan pendidik. Pepatah ing ngarso sung tulada, ing madya mangun karso, tutwuri handayani seharusnya diingat dan diresapkan dalam hati. Dengan demikian pembelajaran senantiasa tidak akan hanya mengejar pencapaian target kurikulum, tetapi juga berupaya untuk menumbuhkan pembentukan etika dan budi pekerti para siswanya.

Munculnya ide pendidikan karakter, secara tidak langsung guru ditantang untuk mengembalikan jati dirinya. Dalam proses pembelajaran tidak hanya mengajar tetapi juga harus mampu mendidik. Pembelajaran tidak hanya mementingkan pada pengembangan dan pencapaian kemampuan intelektual, tetapi juga peningkatan kecerdasan emosional dan spiritual siswa secara aktif, kreatif dan komunikatif. Pendidikan karakter hanya dapat terwujud bila guru yang terlibat di dalamnya juga berkarakter, yaitu profesional, berkomitmen dan menunjukkan kapasitas dan tanggung jawab sebagai pendidik.

Guru berkarakter dipastikan mempunyai kualitas mental dan moral yang ajeg dalam arti tidak mudah terpengaruh oleh sikap irasional atau emosional. Mampu menjaga kehormatan dirinya, smart, berwawasan luas, tidak naïf, dan selalu bersyukur, mendahulukan kewajiban daripa hak. Bila guru seperti itu tidak mudah terpengaruh oleh hal-hal yang sifatnya duniawi semata. Segala tindak tanduknya didasari kesadaran bahwa hidup dan kehidupan dirinya harus bermanfaat untuk orang lain. Menyadari dengan sepenuh hati, sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat buat masyarakat dan lingkugannya.

Yang dibutuhkan oleh guru berkarakter adalah kualitas moral atau integritas (moral quality or integrity); reputasi yang baik (good repute); status atau kapasitas (status or capacity). Sejatinya guru yang berkarakter adalah manusia yang bermoral, beretika, berintegritas terhadap tugas dan kewajibannya. Berani menyatakan yang benar sekalipun itu pahit.

Dr Thomas Lickona menyatakan; “pendidikan berkarakter adalah usaha sengaja untuk membantu orang memahami, peduli, dan bertindak berdasarkan nilai-nilai etika inti.” Sebagai pendidik yang berkarakter guru harus mempunyai visi dan misi untuk membentuk karakter siswa yang positif. Selama pembelajaran yang dilakukannya akan menuntun siswa agar bisa menilai benar salah satu nilai (value), mengerti yang baik dan yang buruk serta peduli apa yang benar harus dilakukan. Siswa dipupuk untuk berani melakukan satu perbuatan yang baik dan benar sekalipun mendapat tekanan dan godaan baik dari luar atau dari dalam.

Pendidikan karakter tidak akan membentuk manusia pintar yang pandai untuk memintari orang lain. Ketika bekerja atau menjadi pejabat tidak akan menyakiti atau mengkhianati hati nurani, rakyat atau bawahannya. Jiwanya akan mempunyai empati, tenggang rasa, dan berhati nurani. Banyaknya oknum pelaku korupsi, culas, berbohong, naïf, berzinah, bahkan melakukan aksi baku hantam ruang sidang DPR dan lain sebagainya, mungkin adalah akibat dari ketidaktercapaian tujuan pendidikan. Mereka tidak mendapatkan pendidikan etika dan budi pekerti layaknya anak sekolahan. Hasilnya adalah manusia cerdas otaknya saja tapi tidak cerdas secara mental dan spiritual.

Pepatah guru kencing berdiri, murid kencing berlari akan menjadi pepatah yang abadi. Tersirat bahwa guru harus menjadikan anak didiknya, manusia yang lebih baik dari sebelumnya. Guru yang berkarakter mampu melakukan pendidikan dengan didasari dua tujuan utama yaitu; membantu manusia menjadi cerdas dan pandai (smart) dalam arti sesungguhnya dan membantu mereka untuk menjadi manusia yang baik. (Character education is as old as education itself. Down through history, education has had two great goals: to help people become smart and to help them become good). (The Return of Character Education, Lickona, Thomas, Journal citation : Educational Leadership, v51 n3 p6-11 Nov 1993).

Pepatah “guru ratu wong atua karo” harus menjadikan guru tidak hanya menjadi pengajar bagi para siswa, tetapi juga menjadi orang tua, teman, sahabat, dan saudara bagi para anak didiknya, Dengan sikap seperti itu, dengan penuh sadar dan keihlasan, guru akan lebih mudah memupuk kebajikan yang ada di dalam diri para siswanya. Guru seperti itu dalam proses belajar mengajarnya, berusaha menumbuhkembangkan kepribadian siswa agar menjadi baik tidak hanya utuk dirinya sendiri tetapi juga untuk lingkungan dan masyarakat sekitarnya. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Thomas Lickona: Character education is the deliberate effort to cultivate virtue – that is objectively good human qualities that are good for the individual person and good for the whole society.

Tujuan pendidikan akan tercapai bila guru di dalam melakukan proses belajar mengajar senantiasa mengajarkan siswanya untuk mengetahui yang baik, menghayati dan mencintai kebaikan, serta melakukan kebaikan pada setiap kesempatan. Prof.Dr. Ratna Megawangi menyatakan: “Pendidikan karakter adalah untuk mengukir akhlak melalui proses knowing the good, loving the good, and acting the good. Yakni, suatu proses pendidikan yang melibatkan aspek kognitif, emosi, dan fisik, sehingga akhlak mulia bisa terukir menjadi habit of the mind, heart, and hands. (Ratna Megawangi, Dr. Semua Berakar Pada Karakter, Jakarta, Lembaga Penerbit FE-UI, 2007).

Kendala dan Tantangan

Seorang guru yang berkarakter dalam arti berakhlak mulia, baik budi pekertinya serta mempunyai prinsip dan integritas untuk melakukan yang benar dengan sebenar-benarnya. Di lapangan ternyata tidak serta merta, menjadi manusia yang dimulyakan oleh lingkungannya. Seringkali idealisme yang tinggi dan ketinggian akhlak moralitas seperti itu harus berbenturan dengan kenyataan yang berlawanan. Bahkan, pada akhirnya guru berkarakter seperti itu teralinasi dan tersingkirkan karena tidak mampu “beradaptasi” dengan lingkungan yang ternyata bertentangan dengan hati nurani dan idealismenya.

Sebagai contoh, saat melakukan proses belajar mengajar, guru mengajarkan dan menasehati siswa didik untuk menjunjung tinggi kejujuran, kedisiplinan, keberanian, kepedulian terhadap orang lain, menjaga kehormatan diri dan orang lain, berperilaku senantiasa menggunakan hati dan lain sebagainya. Pada saat Ujian Akhir Nasional ternyata harus berbenturan di lapangan yang teramat naïf. Dikarenakan “tugas” dari kepala sekolah, maka dengan serta merta dalam keadaan terpaksa (tidak?) guru tersebut harus membuat kunci jawaban UAN dan diberikan kepada siswa dengan berbagai modus. Padahal sebagai insan pendidikan, seorang guru yang baik pasti hati kecilnya mengatakan apa yang dilakukannya adalah tidak benar dan tidak baik. Tetapi bila tidak melaksanakan “tugas” tersebut, dipastikan si guru akan dianggap tidak mendukung suksesnya UAN di sekolah. Dicemooh, dianggap sok suci, dipinggirkan dan dianggap tidak mau membantu kelulusan siswanya sendiri.

Masih banyak contoh kasus lain yang mungkin bahkan dialami sendiri oleh kita. Saat menemukan kasus yang tidak benar dan bertentangan dengan hati nurani yang menyangkut tugas, kebijakan, kesiswaan atau keuangan guru berkarakter akan tetap berani menyatakan dan mempertanyakan pada yang bersangkutan dengan bijaksana. Namun, keberanian untuk menyatakan yang benar itu benar atau menyatakan sesuatu yang salah itu tetap salah harus berbenturan dengan kebijakan yang tidak bijak. Bahkan, bukan rahasia lagi sebagian guru terlalu takut untuk membicarakan hal-hal yang “tabu”. Bila tidak dia akan dimutasi, atau bahkan diberhentikan seperti kejadian beberapa waktu lalu di Purwakarta.

Sepahit apapun kendala dan tantangan, guru yang baik akan tetap memegang prinsip dan idealisme yang didasari nilai-nilai kebenaran, kejujuran, kedisipinan, keberanian, kehormatan dirinya sebagai seorang guru. Guru seperti inilah yang dapat melaksanakan pendidikan karakter yang sesungguhnya. Karena dia pantas untuk digugu dan ditiru. Guru yang telah benar memegang prinsip: ing ngarso sung tulada, ing madya mangun karso, tutwuri handayani dengan kukuh tidak terpengaruh oleh besar kecilnya kendala yang menghadangnya.

Bila tiba saatnya nanti, yang terbawa oleh kita hanyalah tiga hal yaitu: Ilmu yang bermanfaat, amal jariah, dan anak-anak saleh yang mendoakan kedua orang tuanya (Hadits Muslim). Bukan tinggi rendahnya jabatan, bukan banyak sedikitnya limpahan harta kekayaan, bukan cantik tampannya seseorang; yang akan menyelamatkan diri kita masing-masing. Sebab itu, jadilah yang terbaik bagi diri sendiri…


Penutup

Profesi guru pada masa saat ini, dituntut tidak hanya mengajar tetapi juga juga harus mampu mendidik anak didiknya dengan baik. Profesi guru akan menjadi pekerjaan yang mulia, bilama guru mampu menjadi panutan dan teladan bagi para siswanya. Oleh karena itu, guru harus dapat menjadi orang tua bagi para siswa di sekolah. Pepatah guru digugu dan ditiru, patut menjadi renungan bagi para guru pada saat memberikan pendidikan karakter. Anak didik kita, akan berkarakter baik bila kita sebagai gurunya mempunyai karakter yang baik.

Guru berkarakter tidak hanya profesional dari segi keilmuan, tetapi juga berperilaku dan berakhlak mulia sehingga bisa menjadi panutan dan contoh bagi para anak didiknya. Kearifan dan kebijakan sebagai seorang guru sangat dibutuhkan pada setiap melakukan proses belajar mengajar. Berpikiran panjang, dan memandang setiap sifat, sikap dan perilaku anak didiknya dari persfektif kejiwaan siswa disesuaikan dengan mereka.yang positif.

Pembentukan karakter siswa yang baik dan berakhlak mulia, tidak akan tercapai bila tidak ada kerja sama antara orang tua, masyarakat, guru dan birokrasi pendidikan. Diperlukan komitmen, sinergi dan kontinuitas orang tua, masyarakat, guru dan seluruh pemegang kebijakan pendidikan melaksanakan proses pembelajaran dengan optimal. Diperlukan tekad dan niat menjauhkan diri dari sikap hipokrit, ABS (Asal Bapak Senang), egoisme, oportunis dan sikap tidak baik lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Hidayatullah, M. Furqon .2009. Membangun Insan Berkarakter Kuat dan Cerdas.

Surakarta:Yuma Pustaka.

http://www.suparlan.com

http://edu-articles.com/category/lesson-study

http://charactercounts.org/resources/index.html

Mulyasa. E. 2007. Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

1 komentar:

  1. Cukup prihatin memang melihat karakter anak sekolah sekarang, dimana cara bicara, etika dan moralnya jauh dari hal2 yg mencirikan anak sekolahan. Apalagi kelak klo mereka sudah terjun di masyarakat, bisa dibayangkan apa jadinya...
    Hal ini tidak terlepas juga dari semakin banyaknya oknum2 guru, yang jauh dari citra seorang pengajar dan pendidik bertanggungjawab akan tugasnya, yang seharusnya jadi panutan dan contoh bagi mereka.
    Perlu digarisbawahi, diingat paragraf bahwa:
    "Pembentukan karakter siswa yang baik dan berakhlak mulia, tidak akan tercapai bila tidak ada kerja sama antara orang tua, masyarakat, guru dan birokrasi pendidikan. Diperlukan komitmen, sinergi dan kontinuitas orang tua, masyarakat, guru dan seluruh pemegang kebijakan pendidikan melaksanakan proses pembelajaran dengan optimal. Diperlukan tekad dan niat menjauhkan diri dari sikap hipokrit, ABS (Asal Bapak Senang), egoisme, oportunis dan sikap tidak baik lainnya."

    Sangat disesalkan sampai sekarang Sikap hipokrit, ABS, egoisme, oportunis dan sikap tidak baik lainnya masih ada, dan mungkin akan selalu ada selama masih adanya kepentingan dan kehidupan di dunia. Wallahu alam.

    BalasHapus